burhanuddin

Sabtu, 14 Mei 2011

Kiamat Sudah Sangat Dekat


Masih ingat dengan konflik kekerasan di Jalur Gaza, Palestina? Ratusan korban jiwa meninggal dan ribuan luka, laki-laki dan perempuan dari setiap tingkat usia dan dari berbagai kondisi. Merekalah para syuhada di abad modern ini. Menyaksikan kebiadaban bani Israel yang sampai saat ini pun belum puas sebelum tercapai maksudnya, kita menjadi teringat dengan Hadits berikut ini :

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda,

“Tidak akan datang hari kiamat sehingga kaum muslimin memerangi kaum Yahudi dan membunuh mereka. Sehingga, bersembunyilah orang-orang Yahudi di belakang batu atau kayu, kemudian batu atau kayu itu berkata, ‘Wahai orang muslim, wahai hamba Allah, ini ada orang Yahudi di belakang saya, kemarilah dan bunuhlah dia!’ Kecuali pohon Gharqad (yang tidak berbuat demikian) karena ia termasuk pohon Yahudi.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

“Kalian akan diperangi oleh bangsa Yahudi. Lalu, kalian diberi kemenangan atas mereka, sampai-sampai batu pun akan berbicara, ‘Hai muslim, ini seorang Yahudi di balikku, bunuhlah ia!’”

Dua hadits di atas memberikan gambaran tentang akan adanya peperangan maha dahsyat di akhir zaman yang akan melumpuhkan seluruh kekuatan kafir Yahudi dan sekutu-sekutunya di seluruh dunia. Betapa hebatnya pertempuran itu, sampai-sampai batu dan kayu atas izin Allah swt. ikut berbicara menunjukkan tempat persembunyian musuh Muslimin kafir Yahudi.

Kejadian yang akan datang ini juga digambarkan juga dalam kitab mereka.

Bibel pasal Yehezkiel (7 : 15), berjudul Kesudahan Yerusalem menyebutkan:

“Pedang ada di luar kota, sampar dan kelaparan ada di dalam. Barangsiapa (Yahudi) yang di luar kota akan mati karena pedang, dan barangsiapa (Yahudi) yang di dalam kota akan binasa oleh kelaparan dan sampar.”

Bibel kitab Yehezkiel pasal 6 ayat 11 – 14 menyebutkan:

“Beginilah firman Tuhan Allah, ‘Bertepuklah dan entakkanlah kakimu ke tanah dan serukanlah, ‘Awas!’ Oleh sebab segala perbuatan kaum Israel yang keji dan jahat, mereka akan rebah mati karena pedang, kelaparan, dan penyakit sampar. Yang jauh akan mati karena sampar, yang dekat akan rebah karena pedang, dan yang terluput serta terpelihara akan mati karena kelaparan. Demikianlah Aku akan melampiaskan amarah-Ku kepada mereka. Aku akan mengacungkan tangan-Ku melawan mereka dan tanahnya, di mana saja mereka diam akan Kubuat menjadi musnah dan sunyi sepi mulai dari padang gurun sampai Ribla’.”

Peperangan Akhir Zaman ini sebagai Al-Malhamah al-Kubro, suatu huru-hara besar yang belum pernah ada tandingannya, yang merupakan arena penampakan Kuasa Allah untuk membungkam kesombongan orang-orang kafir.

Sebagaimana diyakini umat Islam dan juga ahli kitab, pada episode akhir zaman nanti, Isa Putra Maryam akan turun lagi ke bumi. Dalam keyakinan umat Islam, Nabi Isa a.s. turun ke bumi atas izin Allah swt. untuk menghakimi orang kafir Yahudi dan Israel, yaitu orang-orang Yahudi keturunan Samiri si penyembah sapi, serta semua yang menjadi pendukungnya (Rum/Romawi). Mereka bersama pendukung-pendukungnya akan dikumpulkan di gunung Magiddo (Armageddon). Di sinilah Dajjal, si Pendusta Besar berperan dalam terwujudnya Pertempuran Akhir Zaman. Di tengah-tengah pertempuran itu, Allah kirimkan “Hantaman yang Keras” (al-Bathsyah al-Kubro) yang menghantam dan memporak porandakan bala tentara Rum dan Israel sehingga mereka terbunuh dengan hebatnya. Puncak dari pertempuran itu, Allah menurunkan Nabi Isa a.s. Putra Maryam (Yesus) untuk membunuh Dajjal dan pengikutnya.

Peperangan Armageddon ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga, menyeret semua negara dunia ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok kaum kafir yang dipimpin Dajjal dan poros kaum muslimin yang dipimpim oleh Al-Mahdi. Di tengah-tengah berkecamuknya perang ini, turunlah pertolongan Allah kepada kaum muslimin yaitu dengan diturunkannya Isa Almasih Putra Maryam. Isa akan turun di menara putih di timur Damaskus menjelang fajar. Kemudian Isa masuk ke markas kaum muslimin dan ikut dalam barisan shalat subuh. Setelah itu ia bersama Al-Mahdi (Imam Mahdi) akan memimpin kaum muslimin menyerbu seluruh markas kaum kafir, bahkan berhasil membunuh Dajjal dan seluruh orang kafir.

Menurut riwayat ahli qishas, setelah peperangan maha dahsyat ini dimenangkan oleh kaum muslimin, Imam Mahdi dan Isa al-Masih memimpin dunia dengan akidah Islam sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Beliau menghapus agama selain Islam dan mengutuk umat manusia yang pernah menuhankannya. Pada saat itu seluruh dunia menganut agama Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad saw. Manusia pada masa itu hidup dalam kerukunan dengan satu aqidah tanpa perbedaan.

Setelah beberapa lama Nabi Isa memimpin dunia, beliau kemudian wafat. Wafatnya Nabi Isa menjadi awal goyahnya aqidah umat Islam. Kesesatan kemudian merajalela, kekufuran kembali menjangkiti hati umat manusia, sehingga keislaman mereka kembali tercemar sampai hati mereka benar-benar dikuasai syaithan.

Menurut riwayat, pada saat itu umat Islam habis sama sekali dari dunia, tidak ada lagi penduduk dunia yang menyembah Allah, semua telah kafir kembali. Masa itu merupakan masa terakhirnya dunia ini dan menandakan kiamat akan segera tiba.

Wallahu a’lam.

Hanya Allah Yang Maha Mengetahui Segalanya.

Kamis, 12 Mei 2011

Sulthan Iskandar Muda (Masa Kejayaan Aceh)


> Silsilah dan Kekuasaannya

Sulthan Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal (dari pihak ibunya), dan dari pihak ayahnya merupakan keturunan keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) yang kelak selanjutnya digabung dan menjadi asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut mewarisi tahta kerajaan Aceh Darussalam.

Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, merupakan anak dari Sulthan Alaiddin Ri'ayat Syah (Sultan Aceh ke-10), yang merupakan putra dari Sulthan Firman Syah, dan Sulthan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sulthan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sulthan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah putra dari Sulthan Alaiddin Riayat Syah al-Kahhar, Sulthan Aceh ke-3.

Sulthan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesulthanan Pahang (Malaysia). Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sulthan kepada istrinya, beliau memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sulthan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dilestarikan sebagai situs sejarah Aceh dan dapat disaksikan dan dikunjungi.

Kekuasaan Sulthan Iskandar Muda dimulai pada tahun 1607 sampai 1636 yang merupakan masa paling gemilang dalam sejarah Kesulthanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Sulthan Iskandar Muda menyebabkan lahirnya gerakan pemberontak setelah beliau meninggal.

Pada awal kekuasaannya, Sulthan Iskandar Muda segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan Ulee Balang dan Mukim, ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Imuem). Ulee Balang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sulthan yang membawahi beberapa mukim untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.

> Hubungan Internaional

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sulthan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sulthan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits (pendiri dinasti Oranje) juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesulthanan Aceh Darussalam. Sulthan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.

Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Sulthan Iskandar Muda juga mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesulthanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Konon, sanalah sulthan acap kali berenang sambil menjamu tamunya.

Selasa, 10 Mei 2011

Islamikah Bandar Wisata Islami

"Kiamat Sudah Dekat", adalah salah satu judul sinetron yang pernah ditayangkan di Indonesia oleh salah satu stasiun televisi Republik ini. Entah apa yang menjadi alasan pembuatan sinetron tersebut, tapi yang pasti judulnya mampu menggetarkan jiwa sebagian orang. Kenapa? Karena, sebagian orang tau bahwa tanda-tanda kiamat sebagaimana diterangkan Rasulullah memang mulai kelihatan, apalagi di tengah gencarnya orang barat berpendapat kiamat tahun 2012. Kiamat adalah sebuah kepastian. Semua berpulang kepada Allah.
Nah, sekarang mari kita jalan-jalan ke Kota Banda Aceh, paling ujung Andalas, untuk melihat kreativitas Pemerintah Kota yang menggalakkan ide Banda Aceh: Bandar Wisata Islami Indonesia. Banyak pihak mendukung dan mengacungkan jempol untuk ide kreatif Pemko Banda Aceh tersebut.
Sebelum kita ikut mendukung ide tersebut, mari kita jawab pertanyaan: Islamikah Bandar Wisata Banda Aceh...??

Untuk mengawali pembicaraan, kita pahami dulu tentang wisata menurut pandangan Islam.

A. Pengertian wisata dalam Islam.

Islam sebagai agama murni samawi datang untuk memperbaiki akhlak manusia dan meluruskan banyak pemahaman keliru yang dibawa oleh akal manusia yang pendek, kemudian mengaitkan dengan nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata dalam pemahaman sebagian umat praislam dikaitkan dengan upaya menyiksa diri dan mengharuskannya untuk berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai hukuman baginya atau zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk menghapuskan pemahaman negatif yang berlawanan dengan (makna) wisata.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh." (Talbis Iblis, 340).

Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh anpa didasari ilmu. Di antara mereka ada yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu Rajab, 1/56)

Kamudian Islam datang untuk meninggikan pemahaman wisata dengan tidak menghapus budaya wisata yang melekat dalam diri umat dan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia, yakni:

1. Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga mengharuskan adanya safar -atau wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam agama yaitu haji pada bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah Ta’ala dalam satahun.

Ketika ada seseorang datang kepada Nabi Muhammad saw. minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama, yaitu safar dengan makna kerahiban atau sekedar menyiksa diri, Rasulullah saw. memberi petunjuk kepada maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata dengan mengatakan kepadanya, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR. Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641). Perhatikanlah bagaimana Nabi saw. mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.

2. Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib Al-Baghdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fil Tholabil Hadits’, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja.

Di antaranya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala:

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة التوبة: 112)

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS. At-Taubah: 112)

Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’ mereka adalah pencari ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul Qadir, 2/408. Meskipun penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan ‘As-Saa'ihin’ adalah orang-orang yang berpuasa.

3. Di antara maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat. Allah berfirman: “Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)

Dalam ayat lain, “Katakanlah: 'Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69)

Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)

4. Mungkin di antara maksud yang paling mulia dari wisata dalam Islam adalah berdakwah kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan kepada manusia cahaya yang diturunkan kepada Muhammad saw. Itulah tugas para Rasul dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka dari kalangan para shahabat semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami berharap wisata yang ada sekarang mengikuti wisata yang memiliki tujuan mulia dan agung.

5. Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam Islam adalah safar untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam ciptaan Allah yang agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi manusia menunaikan kewajiban hidup. Karena refresing jiwa perlu untuk memulai semangat kerja baru. Terkait hal ini Allah swt. berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (سورة العنكبوت: 20)

Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)

B. Aturan wisata dalam Islam

Dalam ajaran Islam terdapat hukum yang mengatur dan mengarahkan agar wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah disebutkan tadi, jangan sampai keluar melewati batas, sehingga wisata menjadi sumber keburukan dan dampak negatif bagi masyarakat. Hukum-hukum itu adalah:

1. Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda:

لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاري، رقم 1132 ومسلم، رقم 1397)

“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah saw. dan Masjid Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)

Hadits ini menunjukkan akan haramnya promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi ke selain tiga masjid, seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang diagungkan selain tiga tempat tadi.

Abu Hurairah r.a. berkata, "Aku pergi ke Thur (gunung Tursina di Mesir),kemudian aku bertemu Ka’ab al-Ahbar, lalu duduk bersamanya, lalu beliau menyebutkan hadits yang panjang, kemudian berkata, "Lalu aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur." Lalu beliau mengatakan, "Jika aku menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka (akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR. Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)

Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju tempat suci selain tiga tempat ini. Hal itu bukan berarti dilarang mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara muslim lainnya, karena kunjungan kesana dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar dengan niat seperti itu. Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. Yang keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau lainnya yang serupa.

2. Ada juga dalil yang mengharamkan wisata seorang muslim ke negara kafir secara umum. Karena berdampak buruk terhadap agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apabila tidak ada keperluan dalam safar tersebut seperti untuk jalan-jalan, mencari barang mewah sebagai bentuk foya-foya, kunjungan kerja yang bukan untuk Islam, sekedar bersenang-senang dan rekreasi, atau lain sebagainya. Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir.

Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat bercampur dan menetap di tengah orang kafir di antara mereka. Akan tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang, kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam. Adapun kalau safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan. (Al-Muntaqa min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)

3. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di pinggir pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya) dan jangan duduk dengan orang yang melakukan kekejian itu.

Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah mengatakan: “Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 26/332)

Para ulama al-Lajnah ad-Daimah juga berkata: “Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/224)

4. Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno, jika itu adalah bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.

Para Ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah ditanya, ada di kota Al-Bada di provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi Syu’aib alaihis salam. Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak ada dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi orang yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud mengambil pelajaran dan nasehat?

Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib a.s. berada di arah barat daya Jazirah Arab yang sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Allah yang Maha Tahu akan kebenarannya. Jika itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan sekedar melihat-lihat. Karena Nabi saw. ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau bersabda: “Janganlah kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka, kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala dan berjalan cepat sampai melewati sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)

Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika menjelaskan manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di antaranya adalah barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai dan turunkan azab, tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya, tetapi hendaknya dia mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat. Tidak boleh memasukinya kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran. Dengan landasan ini, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di wadi (sungai) Muhassir antara Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah membinasakan pasukan gajah dan orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup negeri Tsamud dan negeri lainnya yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan mereka." (Fathul Bari, 6/380).

Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi Arabia jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu Ihyai Diyar Tsamud (hukum menghidupkan perkampungan Tsamud).

5. Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk wisata yang di dalamnya banyak tasahul (mempermudah masalah) dan campur baur yang diharamkan?

5. Adapun mengatur wisata untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai keluar. Akan tetapi keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati agama Islam, akhlak umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua tempat suci; Mekkah dan Madinah.

C. Kriteria Tempat Wisata

Tempat wisata hendaknya tidak tersembunyi bagi siapa pun karena dunia wisata zaman sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala perbuatan buruk dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri, telanjang (pakaian ketat) di tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas laki-laki dan perempuan non muhrim, minuman keras, sikap menyerupai orang kafir, mengambil kebiasaan dan akhlaknya bahkan sampai penyakit mereka yang berbahaya. Semua itu dibungkus dengan nama wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan terhadap agama, akhlak dan umatnya kepada Allah swt., jangan sampai menjadi penolong untuk mempromosikan wisata fasik yang sepertri ini. Akan tetapi hendaknya memeranginya dan memerangi ajakan mempromosikannya. Hendaknya kita bangga dengan Islam, wawasan dan akhlak yang diatur di dalamnya.

Akhirnya, semua berpulang kepada masing-masing kita dengan akal yang telah kita miliki. Semoga beberapa tempat wisata yang telah dilestarikan oleh pemerintah Kota Banda Aceh memiliki semangat Islam.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari keburukan dunia.