burhanuddin

Rabu, 27 Oktober 2010

Peran Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna baik dari segi bentuk fisik maupun kelengkapan perangkat akal dan nafsu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, tentunya selengkap manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan mengelola alam ini. Dan ini adalah amanah yang telah diterima oleh manusia pertama yang melangkahkan kakinya di planet bumi ini, yakni Adam a.s. dan isterinya Hawa.
Kewajiban menjaga dan mengelola bumi selanjutnya diartikan sebagai suatu usaha mengisi hidup oleh sementara umat manusia, sehingga pada kenyataan semacam ini akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang hakikatnya melenceng dari tujuan sebenarnya. Betapa tidak, sangat banyak aktivitas-aktivitas manusia seperti penambangan yang semabarangan, pambalakan liar, pencemaran air laut dengan bahan kimia dan lain sebagainya, bukankah hal semacam ini merupakan pengelolaan yang mengarah kepada kehancuran dan ini telah dibuktikan oleh sebagain orang. Maka tidak heran jika bumi ini semakin porak poranda ditambah lagi dengan usia bumi yang sudah sangat tua.
Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman yang baik terhadap peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Yaitu sebagai penjaga dan pengelola bumi dengan cara yang benar dan tidak berlebihan. Dan pemahaman itu sebenarnya telah Allah firmankan dalam kitab-Nya al-Qur'an al-Karim. Sebaliknya, mengenai kehancurannya akibat tangan manusia pun telah tertulis sejak lebih 14 abad yang lalu dalam al-Qur'an yang diturunkan kepada rasul-Nya Muhammad SAW.
Tidak ada pilihan lain selain kita  kembali kepada petunjuk al-Qur'an agar hidup dan peran kita sebagai manusia lebih sempurna, terarah dan tidak terkesan menyia-nyiakan amanah Allah. Amin ya Allah..

Senin, 12 Juli 2010

Kepemimpinan

Manusia punya tanggung jawab yang besar sebagai hamba Allah, sebagai makhluk sosial, dan sebagai manusia dalam sistem kehidupan yang mengikatnya. Salah satu yang ingin saya sebutkan adalah tanggung jawab kita sebagai seorang pemimpin.

Dalam sebuah hadits, Rasul SAW. bersabda: 
"Tiap-tiap kamu adalah pemimpim, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya itu"

Sementara itu dalam hadits lain beliau bersabda:
“Sebaik-baiknya kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintai kamu; kamu menghormati mereka dan mereka menghormati kamu. Sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepadamu; kamu melaknat mereka dan mereka juga melaknat kamu”.

Dalam Islam prinsip kepemimpinan dirumuskan dalam prinsip khalifah. Dalam prinsip khalifah, manusia diturunkan ke bumi untuk memimpin sekaligus pemelihara alam semesta. Walau menjadi pemimpin namun tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya terhadap alam dan seiisinya.

Dari prinsip tersebut, Islam memberi saran agar memilih pemimpin yang membimbing kehidupannya. Imam Mawardi memberikan sejumlah kriteria pemimpin yang baik, yakni memiliki ilmu, sehat panca indra, serta dapat menangkap masalah masyarakat dengan benar dan cepat.

Dalam Islam mekanisme pemilihan pemimpin dilalui melalui jalan musyawarah. Pemimpin yang terpilih dalam musyawarah patut ditaati selama tidak melanggar hukum dan ajaran agama. Pemimpin yang terpilih bukan hanya bertanggung jawab kepada masyarakat yang memilihnya, tetapi juga akhirat. Rasulullah mensejajarkan pemimpin dengan para rasul yang mewakili Tuhan di bumi. Pemimpin yang melanggar aturan dan perintah Allah, maka status kepemimpinannya hanya sebatas simbol saja, dan tak patut untuk dipatuhi. Pemimpin yang melanggar amanah hanya menimbulkan keresahan dan ketidakpastian.

Minggu, 11 Juli 2010

Aqsha tidak butuh Aku

Subhaanallah...........
Israel kian kejam terhadap Palestina.
Rakyat Palestina bagai terpenjera di tanah pribadi. Kian dihimpit, dipersempit, dan dibuat sakit. Penderitaan umat Islam Palestina adalah adalah penderitaan umat Islam sedunia. Bukankah kita satu dalam iman. Bukankah, "belum sempurna iman kita sebelum bisa mencintai umat islam lainnya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri".
Masih ingatkah kita, saat Rasul SAW. melakukan perjalan malam dari Masjid Haram ke Aqsha. Sebuah perjalanan penuh hikmah dan sejarah. Beliau di sana bersama para malaikat dan ruh para nabi-nabi terdahulu, melepaskan kepergian Muhammad SAW yang secara khusus diundang Allah ke Arsy. Dari Aqsha Beliau menuju tempat Allah dengan penuh kemuliaan. Aqsha -lah yang menjadi saksi bisu detik-detik keberangkatan tersebut. Aqsha dengan senyum haru melihat Rasul SAW. di atas Buraq bersama Jibril AS. menuju sidhratul muntaha.
Bukankah kejadian malam itu kini menjadi renungan kita saat ini yang kita peringati dengan berbagai macam cara. Harusnya kita semua merasakan hal yang sama. Harusnya rakyat Palestina, tempat Aqsha bermukim, juga bisa bahagia sebagaimana kebahagiaan kita.
Subhanallah... Kini Aqsha sedang menyaksikan umat Muhammad SAW. dalam kesedihan dan linangan air mata, kemana senyum Aqsha yang dulu terukir indah di kubahnya yang indah. Dimana para mujahid Islam, dimana semangat syuhada Islam, dimana Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Hamzah, dan seluruh semangat ashabusy syahid bangsa ini.
Sadarkah kita, jika Allah mau, detik ini juga Allah bisa menghancurkan tirani musuh Aqsha itu, detik ini juga Allah bisa membebaskan Gaza, Palestina dan Rakyat Islam Palestina dari ancaman Zionis. 
Percayalah, bukan Aqsha yang membutuhkan bantuan kita, Palestina hanya butuh pertolongan Allah, tapi pada hakikatmya kita-lah yang membutuhkan Aqsha, kita-lah yang berharap Allah mencatat nama kita sebagai seorang hamba yang berjihad di jalan-Nya.
Allah tidak butuh kamu, kamu lah yang butuh Allah.

Sabtu, 10 Juli 2010

Aceh dan Syari'at Islam

Ada satu kalimat yang sering diucapkan orang-orang tua dulu; “hukoem ngon adat lagee zat ngon sipeuet”, (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, yaitu benda dengan ciri-ciri benda tersebut). Kalimat ini begitu populer pada zaman-zaman kejayaan Aceh yang dilatarbelakangi oleh kejayaan Islam. Kalimat ini sesungguhnya menceritakan bagaimana sesungguhnya Islam di Aceh pada saat itu. Betapa orang-orang Aceh pada saat itu tidak memisahkan antara adat dan syariat islam. Hal ini sangat jelas terlihat dari kalimat di atas tadi. “Hukom” yang dimaksud pada kalimat itu merupakan syariat Islam sedangkan “sipeuet” adalah ciri-ciri syariat Islam itu sendiri. Dengan demikian, Syariat Islam yang dijalankan di Aceh pada saat itu dapat dilihat dari adat kebiasaan orang-orang Aceh itu sendiri. Hal ini berarti pula bahwa pada dasarnya adat orang Aceh tidak terlepas dari Syariat Islam, karena kita yakin bahwa tidak mungkin ada suatu benda tanpa disertai sifat dan ciri-cirinya, sebaliknya tidak mungkin ada sifat dan ciri-cirinya jika benda yang ditunjukkan oleh ciri-ciri benda tersebut tidak ada. Ini merupakan pengakuan yang pada saat ini tidak perlu dibuktikan. Dan itu pula prestasi gemilang yang pernah diraih bangsa Aceh dan umat Islam di Aceh. Kejayaan Islam di Aceh adalah kejayaan bangsa Aceh dan kejayaan bangsa Aceh adalah kejayaan Islam di Aceh.

Ini merupakan secuil prestasi yang pernah diraih bangsa Aceh masa dulu. Namun hari ini semua itu telah kusam nyaris sirna dimakan waktu dan peradaban. Kemanakah kebanggaan yang pernah kita miliki ini harus kita cari, dimanakah jati diri kita sebagai bangsa dan umat yang bersyariat. Harusnya kita merasa malu bila harus disyariatkan.

Syariat islam yang dulu pernah mewarnai dan menjadi warna kehidupan bangsa Aceh zaman dulu, kiranya kini telah menjadi amanah bagi bangsa Aceh saat ini untuk meraih kejayaan seperti yang pernah diraih bangsa dan umat ini 803 tahun yang silam.

Kita barangkali patut bersyukur, pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah diakui dan dilindungi Undang-Undang Negara kita Indonesia. Hal ini merupakan suatu kecemerlangan yang patut kita kembangkan dan kita pelihara secara bersama-sama. Dengan harapan dapat melahirkan kesadaran sebagai bangsa dan umat yang beragama Islam.